Kesehatan Mental yang Relevan Buat Orang Biasa

Sekitar 10 tahun lalu di 2015, aku punya teman dekat—cerdas, sensitif, dan jauh lebih paham soal kesehatan mental dibanding siapapun yang aku kenal saat itu. Dia bicara tentang trauma, suicidal thoughts, anxiety, bagaimana ketidakseimbangan dalam otak berpengaruh dalam cara pandang mengenai dunia, tentang hal-hal yang, jujur saja, waktu itu nggak masuk ke pikiranku sama sekali. Buatku, itu terlalu abstrak. Sementara aku sibuk mengejar nilai, organisasi, dan pencapaian, dia sibuk bertahan hidup dari pikirannya sendiri.

Saat dia bilang dia lelah hidup, aku bingung. Nggak paham. Bahkan mungkin... cenderung menyalahkan dia dalam hati, for being ungrateful. Kok bisa sih, kamu punya segalanya—otak encer, pendidikan bagus, karir idaman perempuan i ibukota, pasangan baik hati, keluarga yang tampak suportif—tapi masih merasa hancur? Dari luar, dia tampak seperti orang yang seharusnya bisa "menang hidup". Tapi ternyata luka itu nggak kelihatan. Dan aku, dalam keterbatasan pemahaman dan empati, malah jadi bagian dari dunia yang membuatnya makin kesepian.

Aku nggak tahu waktu itu bahwa punya kata-kata untuk menyebut lukanya saja sudah bentuk privilege, bentuk keistimewaan pengetahuan. Aku bahkan belum tahu bahwa aku juga luka.

Pada akhirnya kami tidak berteman lagi. Mungkin karena aku terlalu naif, atau dia terlalu lelah menghadapi dunia yang tidak mengerti dirinya—termasuk aku. Mungkin dua-duanya. Dan aku paham kalau itu mungkin terlalu menyakitkan untuk bisa jadi teman lagi sekarang. Tapi aku masih sering mengingatnya, bukan sebagai bentuk penyesalan berlebihan, tapi sebagai pengingat bahwa aku pernah gagal. Dan bahwa kegagalan itu penting untuk dikenali kalau aku mau tumbuh.



Waktu Mental Health Masih “Aneh”

Tahun-tahun itu, belum ada psikolog viral di TikTok, belum ada istilah "inner child" di Twitter, dan belum ada gerakan healing nan aesthetic di Instagram. Mental health bukan bagian dari obrolan sehari-hari. Kalau ada teman curhat soal keinginan untuk mati, reaksi umum kita: “Jangan lebay, dong. Kurang iman nih” Bahkan yang lebih progresif pun mungkin cuma sanggup bilang, “Sabar ya.” Tidak ada ruang, tidak ada kosa kata, dan tidak ada budaya yang membuat kita nyaman untuk benar-benar mendengar.

Aku pikir dia terlalu serius, terlalu rapuh. Padahal aku juga yang terlalu bebal untuk mengerti luka yang tak terlihat. Aku bukan nggak peduli, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana untuk memahami. Aku tidak pernah diajarkan cara merespons tangis yang tidak punya sebab, atau pikiran gelap yang datang tanpa logika. Dan seperti banyak orang lain saat itu, aku memilih jalan paling mudah: menjauh.

Kalau dipikir sekarang, banyak dari kita sebenarnya juga punya luka, tapi belum bisa menamai ataupun memetakannya. Belum bisa bilang, "aku trauma," atau "aku butuh bantuan." Karena apa yang kita alami sudah terlalu lama dianggap normal. Dihardik orang tua? Biasa. Dibandingkan? Sudah kenyang. Jadi, ketika ada seseorang yang berani bilang, "Aku nggak kuat," reaksi pertamaku adalah bingung—karena aku bahkan belum sempat nanya ke diriku sendiri: "Kamu kuat karena sehat, atau karena mati rasa?"

Bahasa Healing yang Nggak Semua Orang Punya

Sekarang, topik kesehatan mental sudah sangat umum. Tapi kadang terasa seperti klub eksklusif: bahasanya harus halus, pemahamannya harus cepat, dan kamu harus tahu semua istilah baru dari therapy sampai trauma bonding. Di satu sisi, ini kemajuan. Di sisi lain, ini membuat banyak orang merasa semakin jauh dari topik yang justru mereka butuhkan.

“Self-love” dijual dalam bentuk quotes pastel. “Healing” dikemas dalam trip mahal ke pedalaman di tengah gunung. Bahasa yang niatnya membebaskan, kadang malah jadi batas baru. Karena tidak semua orang punya waktu, uang, atau ruang untuk duduk dan menyelami lukanya dengan tenang. Tidak semua orang bisa ambil cuti dan ikut retreat. Banyak yang harus tetap kerja dua shift, sambil nahan tangis di kamar mandi kantor.

Buat orang biasa, mental health bukan tentang me-time atau journaling estetik. Tapi tentang bangun pagi meski hatimu kosong. Tentang bisa kerja meski kepala penuh teriakan. Tentang tahan nggak marah ke anak, meski kamu sendiri nggak pernah diajari cara menenangkan diri. Healing, buat banyak orang, bukan jalan sunyi yang damai. Tapi jalan penuh lumpur, becek, dan kadang cuma bisa dilewati merangkak, bahkan kadang tiarap.

Dan justru karena itu, kita butuh cara bicara soal kesehatan mental yang lebih membumi. Yang bisa dirasakan oleh orang biasa. Yang nggak pakai istilah rumit, tapi bisa menyentuh. Karena luka itu demokratis—semua orang bisa punya. Tapi jalan penyembuhannya belum tentu setara.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Mungkin sesederhana mengubah cara kita merespons. Mulai dari tidak menghakimi orang yang sedang kesulitan, tidak menyepelekan curhat teman, sampai berani bilang “aku nggak ngerti, tapi aku mau dengerin.” Kita bisa mulai dari menghapus standar healing yang terlalu idealis, dan menggantinya dengan kasih sayang yang realistis. Kita nggak harus jadi psikolog untuk jadi pendengar yang baik. Kadang, yang dibutuhkan cuma satu orang yang hadir sepenuhnya, tanpa merasa perlu memperbaiki. Karena mungkin, yang paling menyembuhkan itu bukan kata-kata manis atau jargon self-help—tapi kehadiran yang tulus, dan pengakuan bahwa rasa sakit itu valid.

Tentang Salah, Maaf, dan Jarak

Beberapa waktu lalu, teman lama itu membaca blog ini. Dia meninggalkan komentar. Rasanya seperti dihampiri hantu masa lalu, tapi bukan untuk menakut-nakuti—melainkan untuk berkata: "Aku masih ada." 

Aku nggak tahu apakah kehadiranku di masa kini berarti sesuatu baginya. Aku bahkan nggak tahu apakah aku pantas dimaafkan. Tapi aku tahu satu hal: aku berubah. Bukan jadi orang sempurna, tapi jadi orang yang sadar bahwa dulu aku pernah gagal hadir. Dan aku ingin lebih baik sekarang, buat siapa pun yang ada di sekitarku.

Kami mungkin tidak akan berteman lagi. Dan itu tidak apa-apa. Beberapa hal memang tidak bisa kembali seperti dulu, bukan karena kita tidak peduli—tapi karena ada luka yang terlalu dalam untuk dijahit dengan obrolan santai. Aku menghargai jarak itu. Dan aku tetap berharap dia baik-baik saja, di jalannya sendiri.

Yang bisa aku lakukan sekarang adalah terus berjalan, dengan kesadaran bahwa aku pernah mengecewakan. Bahwa aku manusia. Dan bahwa bagian dari bertumbuh adalah berdamai dengan versi diriku yang pernah menyakiti.

Mental health bukan tren. Bukan juga estetika. Ia adalah hal yang sangat nyata, kadang berantakan, dan tidak selalu bisa diselamatkan dengan kutipan self-compassion. Ia bukan sekadar topik populer—tapi kenyataan pahit bagi banyak orang, yang belum tentu punya kemewahan untuk memprosesnya dengan cara-cara Instagramable atau aethetically pleasing.

Tulisan ini bukan pengakuan dosa. Tapi pengingat: bahwa jadi sehat secara mental itu butuh akses, ruang, dan orang yang hadir. Dan aku ingin jadi orang yang hadir—untuk orang lain, dan untuk diriku sendiri.

Dan kalau suatu hari dia membaca ini, aku cuma mau bilang satu hal: terima kasih karena pernah jadi teman yang berani jujur. Dan maaf, karena dulu aku belum siap mendengarnya.

0 comments