Di tengah jagat sosial media yang penuh cerita tentang cinta yang gagal, pasangan yang saling menyakiti, dan pernikahan yang kandas—aku cuma pengen bilang:
Kadang cinta terbaik datang tanpa drama.
It’s not grand gestures, fancy gifts, or over-the-top affection.
It’s the quiet kinda love—the kind that holds, grounds, and endures.
Because life isn’t a sprint. It’s a winding, grueling trail marathon.
And the love that lasts is the one that learns to walk with you, not ahead of you.
This isn’t a love letter. It’s a reminder – mostly for myself.
A pause-and-breathe moment when life gets loud, marriage feels heavy, and I’m tempted to count his flaws louder than his strengths.
Because the truth is: I know I married a good guy. Not perfect. Not always easy. But good, through and through- dalam definisi yang paling stabil dan grounding. The kind you don’t always find twice.
Dalam hidup yang chaos, aku sering lupa. Lupa kenapa aku milih dia. Lupa bahwa aku menikah dengan pria yang sangat baik. Nggak sempurna, nggak romantis kayak di film, tapi baik. Dan itu bukan hal kecil.
He’s calm. He’s consistent. He’s kind. And most importantly, he stays.
Dan dia jujur. Kadang annoying jujurnya. Tapi aku tahu dia nggak pernah bermuka dua, I trust him to lead me, even when I walk blind. Very independent and ridiculously reliable. He remembers things I forget. He handles what I don’t even notice. Kalau hidup ini perusahaan, dia COO-nya—jalanin operasional dengan tenang, rapi, dan presisi tinggi.
He’s trustworthy to the core. Consistent. Predictable. Solid. Kamu tahu dia nggak akan tiba-tiba berubah.
But that also means... we collide. Hard. Because I’m liat-ntar-aja kind of girl. I go with flow. I do things half-baked then fix it along the way. Sementara dia butuh struktur, kejelasan, rencana yang matang before we dive. He’s a system guy. I’m a vibes girl. Dia butuh jawaban. Aku butuh ruang eksplorasi. Dan ya, when we clash—it’s like big bang. Kadang aku ngerasa kayak lagi nikah sama excel spreadsheet.
Buat seseorang kayak aku, yang hidupnya kayak rollercoaster emosi, penuh impuls, trauma masa kecil, overthinking, ide-ide dadakan yang nggak habis-habis – punya seseorang yang bisa jadi jangkar itu bukan cuma nyaman-it’s a lifeline I never knew I needed, but now can’t imagine living without.
He is the most predictable man I know..and I mean that as the highest compliment.
Kalau aku adalah badai tropis yang susah ditebak arahnya, dia itu daratan stabil yang selalu ada di peta. He grounds me. He plans everything. He executes. He follows through.
He’s a curious cat in a man’s body. In a good way. Bukan kepo, tapi genuinely pengen ngerti. Kadang itu ngeselin sih. Karena buat hal kecil aja bisa kayak project riset skala nasional.
He enjoys building, fixing, solving. He gets sh*t done. He is, literally, what people mean when they say: “be an adult.” So called a well-rounded person.
His love language? Acts of service.
Kalau ada FYP TikTok soal “act of service core”, suamiku tuh bukan cuma relate—dia template aslinya. Referensi utama. Manual hidupnya emang kayak gitu.
Aku pulang dinas atau habis perjalanan jauh? Kamar udah dingin, teh hangat udah di meja, Chinese food kesukaan aku udah dipesenin, Mun Tahu, Fuyung Hai, dan nasi putih setengah. Semua itu dilakukan tanpa diminta, biar aku tinggal rebahan dan merasa nyaman.
Tapi acts of service-nya nggak berhenti di yang kelihatan. Dia tahu weather forecast mood aku kayaknya lebih akurat dari aplikasi cuaca. Setiap hari dia scan situasi:
“Kantor gimana hari ini?”“Mama Papa gimana kabarnya?”
“Sayang lagi pengen sendiri atau ditemenin?”
Kalau dia ngerasa ada yang ganjel, dia suka tiba-tiba ngajak aku makan es krim. Nggak banyak tanya. Nggak sok nyelesain. Cuma ngajak duduk bareng di parkiran, sambil makan es krim indomaret. Ngobrol kalau aku mau. Diam aja juga boleh. Itu versi dia dari peluk tanpa peluk. Buat kasih jeda. Biar aku bisa tarik napas.
No need to ask. He already does the work. Karena dia tahu cara menunjukkan cinta bukan lewat kata-kata, tapi cukup dikerjakan. Konsisten. Pelan-pelan.
Dan waktu dia bilang mau diet, he just does it. Pola makan diatur, makan di jam 11 siang dan jam 6 sore, malam strictly makan meal prep-wrap yang udah dibuat di hari Minggu. Sementara aku? Ya tergantung mood. Random dan nggak konsisten, ada abang Bola Ubi Kopong, langsung buyar rencana dietnya. And he still stays.
Kadang dia komplain, karena dia juga pengen effort-nya dibales. Dan itu valid. Aku belajar pelan-pelan. Karena kalau dia bisa cinta segigih itu, aku juga bisa usaha balik—meski jalannya nggak selalu rapi.
Dia juga bukan manusia yang tanpa cela.
Short fuse. Emotional bandwidth-nya terbatas. Nggak sabaran. Perfeksionis. Keras kepala. Cepat marah kalau semuanya nggak jalan sesuai rencana. He wants results yesterday. Dia suka frustrasi dan merepet sendiri kalau progress lambat. Kalau aku nggak paham maksudnya apa, even in simple everyday conversation.
Dan dia bukan tipe artsy yang ngerti moodboard-ku atau kenapa aku pilih warna hijau emerald buat tembok di kamar. Tapi dia tetap dengerin. Tetap tanya, “Kamu maunya yang mana?” Dan dia tetap dukung, walaupun diselipin “I don’t understand why you like this…” Because I know him well enough and he thinks “aesthetic” is just another millennial scam.
He’s meticulous. A perfectionist by nature. Sering kali melelahkan, jujur aja. Tapi di saat yang sama, it makes me feel safe. Karena apapun yang dia kerjakan, dia nggak akan pernah setengah-setengah.
He often said, “jangan pernah ngebantu orang setengah-setengah, go through dan sampai tuntas kalau mau bantuin orang. Don't be a half-ass person.”
And yes—he’s cerewet. The kind of cerewet that comes from overthinking everything and planning five steps ahead. Bukan cerewet yang ngomel-ngomel, tapi cerewet versi project manager + security guard + engineer + bapak kos dalam satu badan.
Kalau lagi ngobrol soal tukang, renovasi, atau strategi hidup... bisa jadi TED Talk dadakan. Dia bisa jelasin panjang-lebar soal sloof, saklar, sistem saluran air—kayak lagi sidang skripsi. Kadang aku ketawa sendiri: “Bapak ini ribut kali lah, macam kayak orang bener aja.” Tapi ya, that’s how he loves. Through details. Through precision. Through overexplaining things he thinks I need to know (or he thinks he needs me to know, lol).
Kadang bikin pengen nepok jidat. Tapi ya, I wouldn’t want to have it any other way.
Suamiku itu overprotective level serius. Kadang nyebelin. Seringnya nyebelin setengah mampus.
Kadang saking nyebelinnya sampe aku harus tarik napas dulu biar nggak kelepasan ngatain dia tai. Contoh klasiknya: Ada tukang kerja di rumah. Aku pakai kaos oversized dan celana training panjang yang longgar banget—bukan baju tidur, bukan outfit nyala. Baju santun. Kalau pergi ke Indomaret pun gapapa pake ini. Tapi dia komen:
“Ganti baju dong. Jangan ketat-ketat. Di rumah ada tukang.”
Padahal itu baju kedodoran parah. Kalau itu ketat, yang salah bukan bajunya—tapi matanya yang ngeliatin.
Tapi yaudah, demi menjaga perdamaian dunia, aku ganti baju. Meskipun dalam hati: anjir ini lebay banget sih, what the hell is wrong with your eyes. Asu! (astaghfirullahalladzim!)
And when things got really hard, he didn’t walk away
Beberapa waktu lalu, kami sempat ngobrol soal hal yang berat: kematian.
Dia bilang, kalau nanti dia yang pergi duluan, dia udah mikirin semuanya. Supaya aku nggak kelimpungan. Supaya aku nggak harus ngurus rumah sendirian. Supaya kebutuhan sehari-hari tetap tercukupi tanpa harus jungkir balik sendiri.
Karena dia tahu betul—he’s a conventional man with old-school values. Seorang laki-laki yang put his identity and pride as provider. Sebagai pelindung. Dan dia take that role seriously. Very seriously, I bet if you drew his blood, you'd find it written in his DNA. Buat dia, jadi breadwinner itu bukan cuma soal uang. Itu soal tanggung jawab. Soal memastikan, even in his absence, aku tetap hidup dengan layak dan dijaga.
Kami juga pernah masuk masa-masa paling berat. Konflik besar-besaran. Capek. Bingung. Rasanya kayak nggak ada jalan keluar, everything going in circles, for years and years. When the house feels more like a battlefield than a home.
Sampai akhirnya saat kami konseling pernikahan, terbuka semua: ternyata aku punya luka lama. Trauma yang belum sembuh. Respons "fight or flight" yang selama ini aku pikir cuma sifat buruk, ternyata akar dari banyak hal.
Guess what? He didn’t walk away. He didn’t blame me. He didn’t shut down. He showed up. He searched for certified EMDR psychologists. He asked questions. He stayed with me through panic, shutdowns, and unpredictable emotional spirals.
He shifted his mindset. From "kenapa kamu susah banget dikasih tau?" to "apa yang kamu butuh sekarang?" Dari defensif, jadi pengertian. Dari marah, jadi pelan-pelan hadir. Dan semua itu bukan karena dia nggak capek. Tapi karena dia tahu: aku sedang belajar sembuh.
That kind of emotional maturity? That’s rare. That’s gold. I would be ungrateful lady kalau nggak bisa bersyukur bagian yang ini.
He knows how to carry himself
Setelah 30 jam perjalanan pulang dari US, dia nggak ngerokok sama sekali. Pas kami naik taksi dari bandara, dia minta berhenti sebentar ke supir taksi. Dan Bapak supirnya bilang ke aku:
"Suami Ibu ini penumpang paling santun yang saya temuin, Bu. Sopan banget ya, Bu."
Even strangers see it.
Even in exhaustion, he still chooses to be kind. Still full of courtesy. Still composed.
So here’s why I chose him.
Because he stays.Because he shows up.
Because he supports.
Because while I spin in chaos, he holds steady.
Because he puts all the damn efforts, 'til the very last drop.
He’s not romantic in the movie sense. No poems. No candle-lit gestures. Even I wrote him A-Z what to do for our anniversary! Tapi dia nyiapin teh hangat, nyalain AC kamar, bantu urus renovasi, dan ikut cari psikolog yang cocok.
He’s the kind of man who doesn’t perform love – he practices it. Daily. Consistently.
Dan di dunia yang penuh orang capek, egois, dan gampang lelah, where people ghost you at the first sign of emotional labor—he stays.
He keeps choosing me.
Even when I’m not easy to love.
Even when I spiral, shut down, or snap out of nowhere.
Even when I act from wounds I didn’t know I had—buried so deep, they ran the show for decades without me realizing.
He stays. Not because it’s easy. But because he meant it when he said he would.
And I have to remind myself:
This kind of love—quiet, steady, consistent, grounded—might not always feel dramatic or poetic. But, this is rare.
Cinta yang nggak kabur saat ribet.
Cinta yang nggak manipulatif.
Cinta yang, meskipun keras kepala, tetap mau belajar dan berproses.
He’s real. He’s kind. He’s steady.
Dan aku nggak akan lupa, bahwa cinta itu bukan selalu tentang perasaan manis—tapi tentang komitmen untuk hadir, even when it's hard.
for me, that’s more than enough. That’s everything.
"What are the odds that you, of all people, ended up being my husband?"
0 comments