Between Glamoor and Gloom


Tiap tahun, Met Gala datang lagi. Dan tiap kali itu pula aku scrolling foto-foto selebriti dengan gaun-gaun couture absurd yang katanya “konsep.” Tapi yang aku rasakan malah... getir. Kok rasanya makin mirip Capitol, ya? Sebuah pesta visual yang absurd di tengah dunia yang berdarah-darah. Seolah kita sedang nonton modern-day tributes—lengkap dengan baju perang desainer—berpose untuk kamera, sementara di balik layar, dunia dicekik perang, ketidakadilan, dan duka berkepanjangan.

Saat ini, Palestina sedang terbakar. Sejak 7 Oktober, pendudukan makin brutal. Lebih dari 50.000 nyawa hilang. Lima puluh ribu. Tapi suara dari yang berkuasa? Sunyi. Dunia nonton sambil mengangkat bahu. Teriakan gencatan senjata bergema di jalanan—dibalas gas air mata, penangkapan, sensor. Universitas menindas para mahasiswa yang membangun tenda solidaritas. Politisi sibuk bermain diksi, sementara anak-anak meninggal satu per satu. ICJ sudah bicara. Bukti sudah setinggi langit. Tapi Netanyahu masih tidur nyenyak. Keadilan? Nggak kelihatan batang hidungnya.

Di saat yang sama, AS memainkan veto seperti bocah tengil di lapangan sekolah—memblokir keanggotaan penuh Palestina di PBB, meskipun mayoritas mendukung. Demokrasi? Hak asasi manusia? Semua tinggal jargon kosong kalau udah nggak menguntungkan. Baunya—munafik banget.

Lucunya, dalam fiksi kita selalu dukung para pemberontak. Kita berdiri bersama Katniss, para underdogs, para pejuang yang ngelawan tirani. Tapi di dunia nyata? Mereka kita labeli teroris. Kita tertawakan boikot mereka. Kita nyinyirin bentuk perlawanan mereka, kecuali kalau dikemas ala Hollywood. It’s exhausting. Kenapa sih susah banget nyambungin titik-titiknya? Kenapa sebuah aksi cuma dianggap valid kalau nggak bikin kita nggak nyaman?

Boikot itu bukan hal heroik. Itu minimum moral. Kalau kamu tahu sebuah brand terlibat dalam pembantaian, dan kamu masih kasih uang ke mereka—apa arti nilai-nilaimu sebenarnya? Nggak, kamu sendiri mungkin nggak bisa bikin perusahaan itu bangkrut. Tapi aksi kolektif bukan dongeng. Setiap penolakan berarti. Setiap pilihan punya bobot.

Aku sendiri udah banyak berubah. Aku stop ngasih uang ke korporasi yang danai perang. Aku geser ke brand lokal, kreator kecil, bisnis etis. Nggak selalu gampang, nggak selalu sempurna—tapi sengaja. Dan rasanya... lebih benar aja.

Yes, aku berhenti beli vanilla cone McD favoritku. Yang biasanya aku simpen di Tupperware biar bisa dimakan sambil nonton drakor. Kelihatannya receh, tapi buatku itu penting. Aku juga mundur dari fandom Taylor Swift setelah 13 tahun. Iya, aku cinta musiknya. Masih. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak lihat diamnya dia. Billionaire world tour sambil Gaza dibom? Aku cabut. Integritasku lebih mahal dari setlist konser.

Di dalam negeri? Indonesia juga penuh sesak. Harga-harga naik. BPJS makin menekan. Rasanya kayak hidup di pressure cooker yang siap meledak kapan aja.

Dan reaksi netizen ke gerakan boikot? Kadang bikin pengen tarik selimut permanen. Ignoransi dan arogansinya bisa bikin jantung serasa ditarik-tarik. Capek lihat orang bela Big Mac seolah hidup mereka bergantung padanya. Bahkan mamaku sendiri pernah bilang, “Ngapain sih repot-repot? Kan kita jauh dari sana.” Tapi sebenarnya? Kita nggak jauh. Kita terhubung. Setiap rupiah yang kita belanjakan, adalah suara kita.

Memang berat. Melelahkan. Kadang terasa sepi. Tapi ada yang berubah. Ada denyut. Ada arus bawah yang mulai menguat. Gen Z makin vokal. Orang-orang makin melek. Era de-influencing udah mulai. Retakan kapitalisme makin kelihatan.

Jadi ini tentang memilih untuk tetap sadar. Untuk tetap bergerak. Untuk terus pilih nilai, bukan kenyamanan. Untuk terus jaga harapan seperti nyala lilin kecil yang bandel. Karena walaupun dunia rasanya mau runtuh oleh beratnya sendiri—mungkin, hanya mungkin, kita masih bisa memilih untuk membangun sesuatu yang lebih baik.



0 comments