Kadang kita lupa—atau barangkali memang tidak sempat berpikir—bahwa bisa duduk tenang dan bertanya pada diri sendiri, “Sebenarnya, aku kenapa?” adalah sebuah kemewahan.
Tidak semua orang punya ruang untuk bercermin, apalagi bercermin ke dalam. Banyak orang masih hidup dalam mode bertahan: bangun pagi bukan untuk mencari makna, tapi untuk mencari makan. Istilah seperti healing, inner child, trauma awareness—itu kosa kata yang lahir di ruang-ruang yang tenang, cukup terang, dan punya akses. Bukan di rumah-rumah yang listriknya sering mati atau dapurnya kosong.
Sementara sebagian dari kita bisa menunda pekerjaan demi self-care, banyak orang lain yang tidak punya pilihan selain terus berjalan. Kita bisa merenungi masa kecil, ikut webinar soal boundaries, atau menulis jurnal penuh refleksi. Tapi bagi sebagian orang, satu-satunya refleksi yang mereka tahu adalah bayangan mereka di jendela kereta saat pulang lembur.
Jadi, jika hari ini kamu bisa melihat ke dalam dirimu—bukan sekadar melihat jerawat di cermin, tetapi luka-luka lama yang selama ini kau sembunyikan dari semua orang, termasuk dari dirimu sendiri—bersyukurlah. Bukan karena kamu lebih baik. Tapi karena kamu cukup beruntung untuk tidak terlalu sibuk bertahan hidup.
Kadang aku lupa.
Lupa kalau bisa mikirin kenapa aku nangis waktu ditinggal, atau kenapa aku gampang marah kalau dikritik—itu sendiri adalah sebuah kemewahan. Lupa kalau bisa punya waktu dan tenaga untuk mengenali pola, luka, dan inner child yang tertinggal—itu bukan karena aku hebat, tapi karena aku lagi dikasih ruang oleh Allah.
Dikasih waktu. Dikasih akses. Dikasih keberanian. Dikasih support system. Dikasih kemudahan.
Dan di titik ini, aku merasa perlu ngingetin diri sendiri: jangan sombong. Jangan cepat nge-judge. Jangan asal bilang, “Dia tuh harusnya ke psikolog deh”, seolah semua orang punya privilege yang sama buat nyari tahu apa yang salah di dalam diri mereka.
Karena ya... kadang aku juga begitu. Pas udah mulai "sadar", jadi lebih gampang merasa lebih tahu. Padahal sadar aja udah setengah rezeki. Dan ketika aku pakai kesadaran itu buat menilai hidup orang lain yang aku bahkan nggak tahu utuhnya—rasanya, itu bentuk lain dari kufur nikmat.
Jadi tulisan ini, lebih dari apapun, aku tulis buat ngingetin diri aku sendiri. Bahwa perjalanan mengenal diri itu bukan panggung. Bukan perlombaan. Bukan alat ukur untuk membandingkan siapa yang lebih woke. Tapi jalan sunyi, yang kalau bisa dilalui pun, harusnya bikin kita makin tenang. Makin lembut. Makin peka.
Makin sadar bahwa di balik tiap luka yang berhasil kita kenali, ada banyak orang lain yang masih sibuk nambal lukanya sambil tetap harus senyum. Dan kita nggak selalu tahu seberapa berat hidup yang mereka gendong.
Tapi jujur ke diri sendiri itu nggak gampang. Dan sebetulnya, itu juga privilege lain yang jarang disadari.
Karena otak kita, secara alami, akan memilih jalan paling efisien untuk bertahan. Dan sering kali, itu berarti: bohong kecil ke diri sendiri. Biar nyaman. Biar gak perlu mengakui luka yang ternyata lebih besar dari yang kita kira. Biar bisa lanjut hidup tanpa harus membongkar ulang semua yang selama ini kita pegang sebagai “kebenaran”.
Maka nggak heran kalau banyak orang lebih memilih denial. Karena rasanya lebih aman daripada ngaku kalau sebenarnya kita masih marah ke orang tua kita. Atau kalau sebenarnya kita iri. Atau kesepian. Atau capek banget pura-pura kuat.
Dan aku pun pernah ada di fase itu. Berpikir bahwa aku udah sembuh, padahal cuma lagi pandai menghindar. Merasa udah ikhlas, padahal cuma udah nggak kuat nangis. Di titik itu, aku sadar: kejujuran pada diri sendiri bukan sekadar keputusan. Tapi kemewahan yang butuh keberanian, waktu, dan ruang aman.
Aku pertama kali benar-benar merenungkan ini ketika suamiku bilang, "Bisa ngomong soal mental health itu sebuah privilege." Kalimatnya pelan, tapi nadanya dalam. Dan entah kenapa, sejak saat itu, kata-kata itu terus bergema di kepala.
Karena memang benar. Bisa memproses emosi, bisa pergi ke terapi, bisa mengenal trauma masa kecil—itu bukan default semua orang. Itu hadiah. Itu hasil dari kombinasi rahmat, situasi hidup, dan rezeki. Dan aku ingin selalu ingat itu, terutama saat aku mulai merasa "lebih sadar" dari orang lain.
Aku menulis ini bukan karena aku sudah selesai dengan prosesku. Jauh dari itu. Aku masih sering tersesat di dalam diri sendiri, masih belajar membedakan mana luka lama dan mana yang cuma kelelahan hari ini. Tapi setidaknya sekarang aku tahu: kalau aku bisa belajar, itu karena aku diberi kesempatan.
Semoga aku nggak pernah lupa untuk bersyukur atas itu.
Dan semoga, aku bisa menanggapi luka orang lain dengan lebih lembut, bukan lebih tinggi.
0 comments