Ep. 8 - On Buying A Home Part 2: Before You Sign Anything, Here’s What I Hope You Think About

This article is part of the series:
Advice from a Sister from Another Mother
A collection of honest reflections and practical lessons from a 30-something to her 20-something sisters—about love, self-worth, career, money, and navigating this wild thing called life. Written from the other side of the storm—because I might know a thing or two.

Setelah akhirnya mutusin beli rumah, aku nyadar satu hal penting: ternyata proses paling berat bukan pas akad, tapi sebelum itu. Saat semuanya masih serba mungkin dan tiap pilihan bisa bikin kamu jadi versi hidup yang sangat berbeda.

Karena jujur aja, beli rumah bukan cuma soal "sanggup atau nggak." Tapi juga soal "siap nggak sih hidup dengan konsekuensinya?"

Jadi sebelum kamu jatuh cinta sama brosur glossy atau rumah contoh dengan pencahayaan surgawi, aku mau share beberapa hal yang kami pikirin dan diskusiin panjang sebelum akhirnya bilang: oke, kita beli.



  1. Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal, tapi gaya hidup yang kamu pilih.
    Rumah di pinggir kota mungkin lebih luas, lebih murah, tapi siap nggak kamu komuter 2 jam setiap hari? Siap nggak kalau akses ke rumah sakit atau daycare agak jauh? Sebaliknya, rumah di tengah kota bisa lebih sempit dan mahal, tapi kamu bisa hemat waktu dan energi.Nggak ada yang benar atau salah. Tapi kamu harus jujur sama dirimu sendiri: lifestyle kayak apa yang bikin kamu waras?

  2. Beda antara pengen punya rumah dan siap punya rumah.
    Semua orang pengen punya rumah. Tapi nggak semua orang siap. Rumah itu pasti butuh maintenance. Rumah itu tanggung jawab. Rumah itu artinya kamu harus belajar tinggal, bukan kabur tiap ada chaos. Kalau kamu masih belum bisa handle basic pengeluaran bulanan dengan tenang, atau masih mikir beli rumah itu solusi biar "dianggap berhasil" sama orang tua atau netizen, mending pikir ulang.

  3. Setiap rumah punya trade-off. Pahami dulu, bisa kamu tanggung atau nggak.
    Rumah second mungkin lebih luas, tapi bisa aja perlu renovasi. Rumah baru dari developer bisa bebas renov, tapi lingkungannya masih sepi atau tanahnya masih 'mentah'. Rumah yang murah banget bisa aja deket SUTET atau jalur banjir. Kamu harus jujur: mana yang dealbreaker, mana yang bisa ditoleransi? Dan diskusikan ini bareng pasangan, jangan jalan sendiri.

  4. Cicilan itu bukan cuma tentang nominal, tapi tentang napas.
    Cicilan bisa kamu bayar, tapi apa kamu masih bisa nabung setelahnya? Masih bisa healing trip kecil? Masih bisa bantu orang tua kalau perlu? Kalau nggak, berarti kamu beli rumah yang terlalu besar untuk hidupmu saat ini. Nggak salah, tapi berat. Dan kalau beratnya bikin kamu nggak bisa hidup, buat apa?

  5.  Jangan beli rumah sebelum kamu bisa ngobrol jujur sama pasangan tentang uang.
    Ini bagian paling underrated. Rumah itu bukan sekadar proyek cinta, tapi proyek finansial. Harus bisa ngomong soal gaji, utang, tabungan, dan gaya hidup. Harus bisa kompromi dan transparan. Kalau masih malu-malu atau saling simpan kartu, mending tunda dulu. Nggak usah buru-buru. Rumah nggak lari, yang penting kamu nggak nyesel.

  6. Jangan cuma ngobrol sama satu bank atau mortgage officer. Minimal, tiga.
    Ini kayak cari second opinion waktu kamu sakit. Biar datamu sama, setiap bank bisa kasih rate, tenor, dan terms yang beda. Satu bilang kamu harus bayar 30% DP, yang lain bisa bantu cicilan bertahap. Ada yang ngotot bunga fixed tinggi, ada yang bisa dinego.
    Satu keputusan salah di sini bisa berarti ratusan juta overpayment di 15 tahun ke depan. Worth the extra whatsapp/email/phone call.

Dan mungkin, pertanyaan paling penting sebelum kamu beli rumah adalah: kamu beli karena udah siap, atau karena capek ngerasa belum punya?

Kalau kamu udah bisa jawab itu dengan tenang, kemungkinan besar kamu udah lebih dekat ke rumah yang beneran cocok buat kamu.

Setelah semua pertimbangan ini, baru kami masuk ke teknisnya—cari rumah, tanya KPR, list biaya tersembunyi, dan ngurus dokumen yang jumlahnya bisa bikin pusing. Tapi setidaknya, waktu kami sampai di titik itu... kami tahu kenapa kami ngelakuinnya.

0 comments