Ep. 9 - On Buying a Home Part 3: The Things We Wrote Down, Rewrote, Argued Over, and Finally Said Yes To

 This article is part of the series:
Advice from a Sister from Another Mother
A collection of honest reflections and practical lessons from a 30-something to her 20-something sisters—about love, self-worth, career, money, and navigating this wild thing called life. Written from the other side of the storm—because I might know a thing or two.

TL;DR: This Is the Non-Sexy Stuff That Might Actually Save Your Ass

Let’s be real. This part isn’t dreamy. It’s not about Pinterest-worthy kitchens or rooftop gardens. It’s about paperwork, simulasi bunga, pajak, dan biaya yang nggak dikasih tau di brosur. It’s not sexy—but it might be your life jacket when sh*t goes sideways.

⚠️ DISCLAIMER:

This is for those of us who are buying a house dari hasil kerja sendiri—bukan dari warisan, bukan dari titipan orang tua, bukan juga dari privilege yang bisa dandanin kesalahan jadi “pembelajaran”. Kita nggak punya luxury safety net. Yang kita punya adalah spreadsheet, tabungan penuh tekad, dan komunikasi yang kadang naik-turun. Jadi semua ini ditulis sebagai jaring laba-laba: biar kalau nanti jatuh, setidaknya nggak langsung hancur ke lantai.

---

Some decisions look financial on the surface, but they’re really just reflections of what kind of life you want to live, and who you want to become. Buying a home is one of them.

Here’s a list of things we actually sat down and talked through. Over coffee, over spreadsheets, sometimes over small (and not-so-small) arguments. It was all messy and all part of us growing up—maybe more than we realized at the time.


This is the part where things get real.

The things we wish someone had handed us in a neat Google Doc—complete with numbers, context, and the fine print.


MONEY THINGS—the least sexy but most powerful part

  1. Punya dana cadangan bukan opsi, itu syarat.
    Simpan setidaknya 3–6 bulan living cost di luar DP & biaya lain. Kami belajar: ketenangan datang bukan dari rumahnya, tapi dari tahu kita bisa tetap hidup kalau tiba-tiba ada hal nggak terduga.

  2. DP bukan cuma soal nominal—tapi soal strategi.
    DP 20% itu rata-rata, tapi kalau kamu bisa kasih lebih, bunganya bisa lebih rendah dan tenor lebih pendek. Tapi… jangan sampai habis-habisan. Kami akhirnya putuskan nggak cari rumah semaksimal budget, tapi yang cukup, plus buffer nyaman.

  3. Jangan fokus ke cicilan aja. Lihat total bunga dan TCO (Total Cost of Ownership).
    Bunga flat vs bunga efektif itu bisa bedanya drastis. Kami hitung semua: nilai cicilan, total bunga sampai lunas, biaya notaris, BPHTB, appraisal, asuransi, sampai biaya pindahan. Karena rumah nggak pernah cuma soal harga beli.

  4. Jangan lupa IPL (Iuran Pengelolaan Lingkungan)
    Kalau beli di cluster, tanya IPL-nya berapa per bulan, dihitung berdasarkan apa, apa aja yang ditanggung, dan siapa pengelolanya. Ada IPL murah tapi pengelolaan kacau, ada yang mahal tapi kamu nggak tau uangnya ke mana. IPL naik tiap tahun, jadi masukin juga ke proyeksi keuangan jangka panjang. Terus ada biaya apalagi biasanya? Misalnya patungan THR satpam dll atau ada urunan tambahan diluar IPL.

BANK, KPR & BIROKRASI—admin life is real life

  1. Bicara dengan minimal 3 mortgage manager dari bank berbeda.
    Sama kayak second opinion medis. Jangan terima tawaran pertama mentah-mentah. Minta simulasi cicilan dari semua bank, dan bandingkan bunga tetap, bunga mengambang, penalti pelunasan awal, dan biaya tambahan lain. Hitung dan bandingan semuanya pake variable tetap dan hitung jumlah akhir biaya + pros and cons of each bank.

  2. Cek skor kredit/SLIK OJK kamu sebelum mereka yang cek.
    Jangan sampai gagal akad gara-gara histori kartu kredit jaman kuliah yang kelupaan. Skor buruk = bunga lebih tinggi atau KPR ditolak.

  3. Biaya-biaya yang sering disembunyikan di balik kata “bebas biaya”
    Pas marketing bilang, “Bebas biaya notaris dan administrasi,” itu harus jadi alarm. Biasanya, kata-kata kayak gini cuma dipakai buat menarik perhatian, tapi kamu tetap bakal bayar biaya lain yang nggak langsung kelihatan, seperti biaya balik nama, pajak pengalihan hak, atau biaya appraisal yang tetap harus ditanggung pembeli. Print check list semua biaya!

LEGAL & PROPERTIthe notary trap nobody told you about

  1. BALIK NAMA
    Fakta penting: Kalo beli rumah dengan SHM (Sertifikat Hak Milik), ada biaya balik nama sekitar 1% dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) yang wajib kamu bayar. Itu nggak sedikit! Dan kalau rumahnya masih dalam proses balik nama, kamu harus siap nunggu beberapa bulan sampai prosesnya selesai, dan itu ada biayanya juga. Jangan cuma jatuh hati sama penawaran marketing. Selalu tanya detail soal biaya yang nggak langsung kelihatan.

    Kalau masih PPJB/AJB dengan developer, biasanya ada keringanan mengikuti standard biaya di developer.

  2. Kalau beli rumah setelah menikah tanpa prenup, itu jadi harta bersama.
    Siapapun nama yang tertera di sertifikat, properti yang dibeli setelah menikah akan dianggap milik berdua secara hukum. So if things got messy and you decided to call it off, its yours to divide equally (di mata hukum Indonesia)

  3. Kalau beli rumah second, pastikan properti bukan sengketa/dalam agunan/lelang.
    Cek ke notaris dan BPN kalau perlu. Jangan cuma percaya omongan penjual.

  4. Kalau beli rumah baru, riset track record developer-nya.
    Apakah mereka biasa pecah sertifikat? Jangan sampai rumah udah jadi tapi sertifikat induk nggak pernah dipecah, dan kamu nggak pernah pegang SHM milikmu sendiri. I know some were pressured by the marketing and you were in FOMO and didn't check thoroughly.

HOUSE ITSELF—what you actually live in

  1. Layout dan Luas
    Sebuah kunci, kami prefer beli rumah yang masih punya lebihan tanah luas karena... untuk saat ini ya cukup yang berdua aja, kami nggak ada ART jadinya males juga kalau bersih-bersih rumah sendirian setiap hari. Terus bukaan udara dan cahaya adalah harga mati, kami nggak mau tumbuh di rumah yang kedap cahaya matahari soalnya kami bukan vampir, lol.

  2. Datang siang bolong. Datang malam. Datang hujan.
    Cek rumah di semua kondisi. Lihat cahaya, bau got, tetangga berisik, air ngocor atau nggak, jalan banjir atau nggak. Rumah bukan brosur. Rumah itu ritme harian.

  3. Tanya tetangga. Mereka sumber data paling jujur.
    Waktu kami tanya, satu tetangga cerita soal sinyal HP yang buruk, yang lain cerita soal anjing galak di ujung gang. It saved us from buying in the wrong cluster. Jangan cuma denger sales.

  4. Cek potensi polusi atau bau sampah.
    Jangan cuma cek view. Cari tahu apakah ada TPA, pabrik, atau TPS dalam radius 1 km. Angin bisa bawa bau setiap sore, dan itu bisa jadi gangguan jangka panjang.

  5. Sistem air dan listrik.
    Cek tekanan air, jenis sumber air (PDAM vs sumur), boleh nggak ngebor sumur, daya listrik yang terpasang (cukup nggak buat AC + water heater + kompor listrik?), dan posisi panel listrik. Hal kecil tapi ngaruh besar ke kenyamanan harian.

  6. Rencana masa depan: anak, ART, atau orang tua.
    Kalau kamu berencana punya anak, tinggal bareng orang tua, atau ada ART, cari rumah yang bisa tumbuh sesuai kebutuhan. Bukan cuma cukup buat versi kalian hari ini.

YOU & YOUR PARTNER—the real foundation, your own home

  1. Beli rumah itu ujian kecil pernikahan. Kalau kalian nggak bisa ngobrol jujur, delay dulu.
    Ngobrol soal cicilan 20 tahun itu kayak buka semua layer finansial, rasa aman, dan trauma uang. Kami pernah debat kecil gara-gara beda pandang soal KPR 10 vs 15 tahun. Tapi debat itu perlu—karena rumah bukan goal pribadi. Ini decision berdua.

  2. Jangan beli rumah yang butuh kamu jadi versi dirimu yang belum siap.
    Kalau kamu harus kerja lembur 5 tahun tanpa henti biar bisa nyicil, atau kamu harus kompromi sama semua nilai kamu sendiri, mungkin rumah itu belum waktunya. Rumah bukan panggung. Rumah itu tempat kamu bisa jadi diri sendiri, dalam keadaan senyaman dan secapek apapun.

  3. Dan yang terakhir: rumah bukan puncak. Tapi mungkin, dia bisa jadi tempat kamu mulai belajar tinggal.
    Tinggal sebagai dirimu hari ini. Tinggal dalam relasi yang kamu bangun. Tinggal dalam ketenangan yang nggak bisa dikasih oleh angka—tapi bisa dibangun pelan-pelan, dari keputusan yang kamu buat dengan sadar.

BONUS: What to Ask Your Mortgage Manager So You Don't Get Played

  • Berapa lama bunga fix? Setelah itu floating-nya ngikutin apa? BI + sekian % atau punya aturan internal sendiri?
  • Ada penalti pelunasan awal?
  • Biaya appraisal, admin, provisi, asuransi?
  • Cicilan bulanan total (termasuk semua tambahan)?
  • Bisa KPR joint income? Siapa yang akan tercatat legal owner?
  • Durasi proses dari pengajuan ke akad?
  • Kebijakan kalau kehilangan pekerjaan? Ada opsi restruktur?

That’s it, sister.

Kalau kamu udah sampai tahap mikir beli rumah, kamu bukan lagi anak kecil yang cari jawaban cepat. Kamu orang dewasa yang tahu: kadang hal-hal terpenting justru datang setelah kita pelan-pelan belajar bertanya. Dengan jujur. Dengan sabar. Dengan cukup.

By the time you get here, the house might feel less like an achievement and more like a place where your growth happens. It might not be perfect, but it’ll be yours. And when it comes to decisions like this, owning it means understanding both the big picture and the tiny details.

Semoga rumah yang kamu bangun, bukan cuma berdiri tegak—tapi bisa tumbuh bareng kamu juga.

0 comments