There’s something magical about Ramadhan.
Dulu, aku paling malas kalau bulan puasa datang. Males bangun sahur, males puasa, dan paling sering marah-marah kalau mamaku bangunin subuh-subuh. Kalau bisa, aku minta skip aja. Tapi sekarang... lucunya, justru hal-hal kecil itu yang aku rindukan.
Maybe it’s nostalgia. Or maybe... it’s a quiet reminder that I’ve grown. That the version of me who used to resist Ramadhan, is now the one quietly waiting for it. Bukan karena aku sudah super taat—jauh dari itu. Tapi karena Ramadhan selalu terasa seperti dikasih tiket pulang buat mudik. Pulang ke Allah. Pulang ke diri sendiri. Pulang ke hal-hal yang bikin hati terasa utuh lagi.
Aku nggak bisa jelaskan kenapa, tapi Ramadhan selalu terasa lebih syahdu dari bulan-bulan lainnya. Ada sesuatu di udara—yang bikin ibadah terasa lebih dalam, lebih hangat, lebih... ditunggu.
Yang biasanya terasa berat dan penuh alasan, jadi terasa ringan dilakukan. Dan anehnya, aku bisa FOMO banget kalau sampai kelupaan solat atau puasa, atau telat tarawih. Malam-malam panjang yang dulu sering aku habiskan scrolling atau rebahan, sekarang malah jadi momen duduk bersimpuh, minta ampunan dan pengampunan, berharap taubat ini diterima.
Tangisan itu jatuh satu-satu, bukan karena drama, tapi karena isi hati udah terlalu penuh. Ada doa-doa yang nggak sempat disuarakan sepanjang tahun, tapi tumpah semua di bulan ini: doa untuk hidup yang lebih baik, untuk anak saleh yang sudah kunanti-nantikan selama 5 tahun belakangan ini, untuk ampunan kedua orang tua, untuk rumah tangga yang tenang dan panjang umur. Dan untuk kekuatan menghadapi semua yang belum selesai.
Ramadhan datang lagi. Tapi bukan untuk mengulang, melainkan untuk mengingatkan. Bahwa mungkin aku sudah terlalu sibuk “berjalan” sampai lupa arah. Terlalu banyak berusaha kuat sampai lupa bahwa lelah pun ada tempatnya—dan tempat itu adalah Allah.
Aku sadar, aku ini bukan tokoh utama dalam kisah suci siapa pun. Aku penuh salah. Kadang doa pun terasa hambar, ibadah terasa autopilot, dan kebaikan hanya jadi daftar tugas harian. Tapi Ramadhan selalu datang dengan satu pesan yang menohok: "Kamu masih bisa balik."
Dan kali ini, aku nggak mau sekadar balik. Aku mau pulang dengan sadar. Bukan karena euforia bulan suci, bukan karena takut dosa numpuk. Tapi karena aku rindu tenang. Rindu jadi versi diri yang nggak terus-menerus defensif, ragu, atau letih karena sibuk tampil baik.
Fasting strips away the noise. Nggak ada tempat untuk ego pas perut kosong. Nggak ada alasan untuk marah kalau hati benar-benar hadir. Setiap lapar dan haus bukan cuma simbol sabar, tapi pengingat bahwa yang kita “butuhkan” seringkali jauh lebih sedikit dari yang kita kejar.
Dan ikhlas—PR seumur hidup itu—datang lagi di bulan ini untuk diuji. Aku belajar bahwa ikhlas bukan berarti nggak capek, tapi tetap memilih taat meski hati goyah. Tetap berbuat baik meski nggak dihargai. Tetap mendoakan meski kecewa. Kadang kalah dalam diam adalah bentuk kemenangan yang paling sunyi.
Tapi Ramadhan juga bukan hanya soal aku. Bukan cuma tentang hati yang ingin bersih. Karena saat aku berbuka di rumah yang aman, ada yang berbuka di bawah puing. Saat aku bisa menangis dalam doa, ada yang hanya bisa menangis karena kehilangan segalanya.
Doaku tahun ini nggak indah. Tapi semoga cukup. Untuk Gaza. Untuk semua tempat yang dijajah tanpa headline. Untuk mereka yang bertahan, bukan karena kuat, tapi karena tidak punya pilihan.
Aku berdoa agar dunia tak lagi dibisiki perdamaian yang hanya ada di poster. Dan agar kita, yang hidup nyaman, tidak terus-menerus menukar empati dengan scroll cepat dan “Yaa Allah, kasihan banget...” lalu lanjut buka chat.
Ramadhan ini aku mau hadir sepenuhnya. Nggak sempurna, tapi sadar. Nggak heroik, tapi jujur. Karena mungkin memang bukan tentang berapa banyak yang kita lakukan. Tapi seberapa dalam kita benar-benar kembali.
0 comments