Ep. 1 - Just Get in the Game: Your First Job Doesn’t Define You

This article is part of the series:
Advice from a Sister from Another Mother
A collection of honest reflections and practical lessons from a 30-something to her 20-something sisters—about love, self-worth, career, money, and navigating this wild thing called life. Written from the other side of the storm—because I might know a thing or two.

 Lulus kuliah dan masuk ke dunia kerja untuk pertama kalinya sering terasa seperti dilempar ke kolam yang airnya keruh dan dalam. Kita tidak bisa melihat dasar, tidak tahu ada apa di dalamnya, dan belum sepenuhnya bisa berenang. Tapi satu hal yang pasti: kita harus nyebur dulu, baru bisa belajar.

Di usia 20-an, ada harapan—atau tekanan—bahwa pekerjaan pertama harus ideal: sesuai passion, sesuai jurusan, gaji layak, lingkungan mendukung, atasan suportif. That’s a fantasy. Realitanya, pekerjaan pertama jarang sempurna. Dan memang tidak harus.



The Truth About First Jobs

Pekerjaan pertama bukan tentang “selamanya akan jadi apa,” tapi tentang mulai dari mana. Ini bukan akhir, ini pintu masuk. A stepping stone. Bukan tentang menemukan “the one,” tapi tentang masuk dulu ke permainan.

Lewat pekerjaan pertama, kita belajar banyak hal yang tidak pernah diajarkan kampus:

  • Tanggung jawab terhadap sesuatu yang lebih besar dari nilai akademis.
  • Cara bekerja sama dengan orang yang jauh lebih senior, dan tidak selalu menyenangkan.
  • Adaptasi dengan ritme kerja yang cepat, penuh tekanan, dan kadang tidak masuk akal.
  • Membedakan antara tekanan yang membangun dan lingkungan yang toxic.

Dan sering kali, pelajaran terbaik datang dari pengalaman yang paling tidak nyaman.

From an Ex-Diplomat Wannabe

Sedikit cerita pribadi. Aku kuliah di jurusan Hubungan Internasional di salah satu universitas swasta di Indonesia. Sejak kecil, aku tahu satu hal pasti: aku ingin keliling dunia ketika dewasa nanti. Menjadi diplomat terdengar seperti jalan paling masuk akal. Ditambah lagi, di kepalaku saat itu, profesi diplomat terdengar begitu cerdas dan elegan—seolah-olah aku bagian dari kelompok intelektual elit yang bekerja demi bangsa.

Tapi semua itu runtuh ketika aku magang di Kementerian Luar Negeri. Ternyata, sebagian besar pekerjaannya bersifat administratif, duduk berjam-jam di balik meja, melakukan riset yang berat, dan berhadapan dengan birokrasi yang sangat tebal. It was a wake-up call. Aku memutuskan: ini bukan jalanku.

Lalu datang realita berikutnya—mencari pekerjaan pertama ternyata tidak semudah mengirim CV dan menunggu panggilan. Butuh hampir satu tahun sampai akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku: sebagai sales, dengan gaji di bawah UMR. Jauh dari bayangan, jauh dari rencana awal, dan terus terang, sempat cukup memukul ego. Tapi dari situ, semuanya mulai terbuka. The rest is history.

The Mindset That Matters

Jadi, kalau kamu sedang bingung soal pekerjaan pertama, atau takut mengambil langkah yang “salah”—ini pengingat untukmu:

You’re not supposed to have it all figured out. You’re supposed to start.

Pekerjaan pertama tidak mendefinisikan siapa kamu. Tapi cara kamu bekerja, belajar, dan bertumbuh—itulah yang akan membentuk kamu. Dunia kerja bukan soal start yang sempurna, tapi soal bagaimana kamu terus muncul, terus beradaptasi, dan terus berkembang.

Dan percayalah, kamu bisa mulai dari mana saja.

Karena dari pekerjaan sales kecil itu, aku belajar banyak hal yang hari ini masih kupakai. Karierku mungkin tidak berjalan lurus, tapi dari titik kecil itu, langkah-langkah berikutnya mulai terbuka. Aku bekerja di industri yang tidak pernah aku bayangkan, berkeliling dunia bukan sebagai diplomat, tapi sebagai perempuan yang tahu nilainya, mengerti pasar, dan bisa berdiri tegak di ruang negosiasi.

Semua itu berawal dari satu keputusan sederhana: masuk dulu ke permainan.

Just. Get. In. The. Game.

0 comments