Anticipated Hopes and Disappointment
The last week of last month was the most anticipated week throughout our whole Trying to Conceive Program. It was a week filled with hope and anticipation on our 5th cycle. Udah cukup panjang buat bikin kita capek, tapi juga cukup buat nyulut harapan yang serius. Rasanya kayak semua usaha, semua suntikan, semua jadwal minum obat, semua perhitungan masa subur itu akhirnya akan dibayar lunas. We were hopeful. Very hopeful. We thought that finally, we would see those two red lines on the test pack. Saking hopeful-nya, aku sampai kirim pesan ke JakFM, minta semangat pas lagi nungguin hasil test pack. Ada yang dengerin Semangka jam 7 pagi waktu itu? Yep, that was me. Clinging to hope. Ngebayangin mungkin, kali ini akhirnya bakal ada dua garis merah kecil itu.
Tapi ternyata… belum. Masih belum. Dan rasanya? Bukan cuma sedih. Tapi kayak diangkat tinggi-tinggi buat dijatuhin.
Jujur aja, aku nulis ini bukan karena punya jawaban. Ini bukan postingan yang bakal kasih tips coping atau rangkuman positif-positif ala motivator. Ini lebih ke: aku capek. I need to let this out.
Physical and Emotional Strain
Selama beberapa bulan terakhir, tubuh ini bukan lagi tubuhku sendiri. Rasanya kayak properti klinik kesuburan. Obat setiap hari. Suntikan. Hyperovulation stimulation yang datang dengan bonus harian: perut kram, lower back pain, bloated, emosi naik turun. Kadang badan tuh literally minta diem aja seharian. And when I do rest, aku kelihatan kayak pemalas di rumah. Padahal? I’m not lazy. I’m just surviving.
Dan karena semua ini gak terlihat dari luar, kadang ekspektasi orang—bahkan pasangan—jadi gak nyambung. Aku ngerti kenapa, tapi itu gak bikin beban di kepala jadi lebih ringan.
Yang paling berat bukan cuma rasa sakit fisik. Tapi suara-suara di kepala yang makin berisik. Aku mulai nanya ke diri sendiri: am I even cut out to be a mom? Kalau sekarang aja aku struggling segini kerasnya, nanti gimana?
Aku takut. Takut kalau ternyata aku gak cukup sabar. Gak cukup stabil. Gak cukup baik buat jadi ibu.
Ada momen-momen gelap di mana aku mikir, mungkin aku gak layak punya anak. Maybe this whole journey is proof bahwa aku belum, atau bahkan gak akan pernah, siap. And that thought? It kills me. Slowly.
Kita berdua juga sempat mikir: are we even meant to be parents? Bisa gak sih kita jadi dua orang dewasa yang aman dan suportif buat satu makhluk kecil yang completely vulnerable? Atau jangan-jangan ini semua adalah cara semesta bilang, "not yet"?
Dan itu bikin aku ngerasa stuck. Between wanting so bad, and questioning everything.
Finding Resilience and Hope, Again
Meskipun perjalanan TTC ini penuh jatuh-bangun, honestly, kalau aku tarik garis mundur... ada banyak progress yang udah kita capai. Memang belum sampai ke titik yang paling kita tunggu—dua garis merah itu—but somehow, tiap bulan tetap ada aja hal kecil yang bikin kita bertahan. Baby steps yang mungkin gak kelihatan di test pack, tapi kelihatan banget di hati.
Satu momen yang paling nempel di kepala: hari ketika aku sadar haidku datang lagi. That crash after so much hope? Brutal. Tapi malam itu juga, kita mutusin buat langsung ke dokter. Instead of drowning in sadness, we needed answers. Needed clarity.
Dan ternyata... everything's still okay. Dokternya bilang progres kita bagus, dan dia optimis. Dia nyaranin kita lanjut aja dulu dengan metode yang sama, at least lima kali percobaan lagi. Somehow, itu bikin aku dan suami ngerasa: okay, maybe we can do this. Maybe, insya Allah, salah satu dari lima itu adalah jalan kita.
Kalau dilihat lagi, perjalanan ini bukan cuma soal kehamilan. Tapi soal tumbuh bareng. Aku dan suami belajar lebih jujur soal perasaan. Lebih berani ngomong soal takut-takut yang selama ini dipendam. Kita belajar saling jadi penopang satu sama lain, especially pas lagi down.
And seriously, aku gak bisa cukup bilang betapa bersyukurnya aku sama suamiku. Dia bukan orang yang selalu tahu harus ngapain, tapi dia selalu ada. Dan itu, ternyata, jauh lebih penting daripada semua jawaban yang gak dia punya. Dalam kecewa, dia tetap berusaha bikin aku bertahan. Dan itu... aku gak akan pernah lupa.
Beberapa waktu lalu, aku ngobrol panjang sama salah satu sahabatku yang juga lagi jalanin program TTC. Sama-sama punya PCOS, sama-sama struggling, tapi dia cerita soal usahanya jaga berat badan buat bantu kesuburan. Dia pakai intermittent fasting, rutin olahraga, dan makan sehat.
Dan waktu dia ngomong, aku langsung... ouch. Bukan karena dia judging, tapi karena aku sadar: selama ini aku gak treat tubuhku dengan cukup respect. Aku terlalu fokus ke hasil, tapi lupa bahwa tubuhku juga butuh dirawat. Dan kalau aku pengen jadi tempat yang aman buat anak nanti, ya aku harus mulai dari jadi tempat yang sehat buat diriku sendiri dulu.
That convo was a wake-up call. Dan sejak itu, aku mulai pelan-pelan perbaiki lifestyle—bukan karena pengen kurus, tapi karena pengen kuat. Buat diri sendiri, buat masa depan, buat anak yang (semoga) akan datang.
I’m Still Standing
Yes, I bounce back. Tapi bukan karena aku kuat terus, bukan karena aku cuek, dan bukan karena aku gak ngerasa sakit. Aku bounce back karena aku milih buat gak nyerah. Karena aku punya support system yang ngerti kapan harus peluk, kapan harus dorong.
Ada banyak momen kecil yang aku syukuri—siklus yang membaik, hormon yang mulai stabil, dan orang-orang yang gak lelah nemenin aku di setiap tikungan. Suami. Mamaku. Mertuaku. Mereka semua jadi cahaya kecil yang nyalain semangatku tiap kali mulai padam.
Dan sekarang? Aku jalan lagi. Bukan karena udah sembuh. Tapi karena udah berdamai. Dengan kecewa, dengan harapan, dengan proses.
We’re not there yet, but we’re closer. And I’ll keep going. For me, for us, for whoever’s meant to call me mama someday.
Until the next milestone,
see you even sooner, Bakori Juniors
0 comments