Dari Dua Garis ke Dua Kali Lebaran, Masih di Titik yang Sama
Lebaran udah lewat dua kali sejak terakhir aku bilang ke diri sendiri, “Okay, besok kita mulai lagi. Bismillah.” Waktu Idul Fitri 2024, aku punya harapan besar. Rasanya kayak titik balik—aku udah capek dengan semua chaos hormon, capek sama test pack yang hasilnya selalu satu garis, capek jadi orang yang gak kenal sama tubuhnya sendiri. Aku pikir, at least kalau aku mulai dari makan sehat dan olahraga, maybe everything else will follow. Tapi ternyata, niat doang gak cukup.
Fast forward ke Juni 2025, Idul Adha 2025, and here I am. Berat badan naik 10 kilo. Nafas makin berat. Baju-baju lama udah mulai ngatain aku diam-diam dari dalam lemari dan menolak digunakan. Energi rendah. Self-esteem? Don’t even ask. Aku bahkan sempat ketawa kecil waktu nyadar: nastar pun bisa ngalahin niat dietku. Hari Senin kemarin, literally tiga hari setelah aku janji sama suami mau gluten free, aku udah buka toples kayak nggak pernah berikrar.
Dan ini bukan karena aku gak ngerti. Aku ngerti semua rumus diet, theoritically. Aku tahu cara defisit kalori. Paham makro, tahu TDEE, pernah meal prep, bahkan sempat follow through rekomendasi dokter gizi aku, yang bertahan sebulan aja. I know how to do this. Tapi tiap kali aku mulai, rasanya mental block itu datang duluan. Kayak ada tembok tinggi banget di kepala, dan aku cuma bisa berdiri sambil mikir, “nanti deh. besok deh. cuma satu suap aja, kok.” Besoknya? Repeat.
Aku mulai nanya: apa aku sebenernya gak niat? Apa aku manja? Apa aku udah nyerah tanpa sadar? Tapi makin aku gali, makin aku sadar... ini bukan tentang gak tahu atau gak mau. Ini soal capek. Capek banget. Bukan capek fisik, tapi capek karena terlalu sering ngecewain diri sendiri. Capek jadi proyek perbaikan yang gak jadi-jadi. Capek pura-pura bisa.
Break yang Gak Pernah Benar-Benar Jadi Istirahat
Oktober 2024 aku resmi break dari program TTC. Keputusan itu aku ambil bukan karena menyerah, tapi karena mental dan fisik aku udah gak sinkron. Rasanya kayak alarm di kepala dan tubuh bunyi bareng, minta dimatiin dulu semuanya. Aku butuh jeda. Butuh ngambil napas panjang. Butuh merasa normal lagi, walaupun cuma sebentar. Aku bilang ke diri sendiri, “Cuma sebentar, ya. Nanti balik lagi.”
Tapi ternyata, “sebentar” itu nggak sesingkat yang aku pikir. Begitu programnya berhenti, hidup juga ikutan berhenti. No more jadwal ke dokter. No more ovulation tracking. No more suntikan. Yang tersisa cuma sunyi. Sunyi yang awalnya terasa damai, tapi lama-lama berubah jadi… kosong. Awalnya aku pikir aku bakal senang punya ruang untuk healing. Tapi nyatanya, aku malah kehilangan arah.
Bukannya makin waras, aku malah jadi makin jauh dari diri sendiri. Berat badan naik pelan-pelan. Mood swing makin susah dikontrol. Makan jadi pelarian. Haidku cuman dateng sekali setelah 6 bulan. Tidur jadi berantakan. Dan guilt mulai datang tanpa undangan. “Tuh kan, katanya mau recovery, eh malah nambah masalah baru.” Tapi rasa bersalah itu gak menyelesaikan apa-apa. Cuma makin mengubur aku dalam rasa gagal yang lebih dalam.
Sampai akhirnya aku sadar: mungkin jeda ini bukan buat healing, tapi buat menghadapi kenyataan bahwa selama ini aku terlalu fokus ke hasil, sampai lupa ngerawat proses. Selama ini aku kejar dua garis, tapi lupa kalau tubuhku juga makhluk hidup—yang bisa lelah, yang bisa marah, dan yang butuh dipeluk, bukan ditekan.
Sama-Sama Capek, Sama-Sama Belajar
Di antara semua proses yang kami jalani, salah satu hal yang paling terasa adalah bagaimana perjalanan ini ikut menguji dinamika hubungan aku dan suami. Bukan karena satu kejadian besar, tapi karena kelelahan yang datang terus-menerus, diam-diam, dan numpuk di antara kami. Kelelahan dari ekspektasi, dari rasa belum cukup, dari hal-hal yang nggak selesai di dalam diri masing-masing.
Ada masa-masa di mana kami berdua sama-sama berada di titik rendah. Tapi waktu itu, kami memprosesnya dengan cara yang sangat berbeda. Aku masih dengan cara lama: sibuk, defensif, kadang terlalu blak-blakan. Sementara dia lebih sensitif dari biasanya, dan itu bikin komunikasi kami sering mentok. Bukan karena kami gak peduli, tapi karena kami belum ngerti sepenuhnya apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam diri masing-masing.
Tanpa disadari, jarak mulai terbentuk. Kami tetap bareng, tetap berinteraksi, tapi kehilangan ritme. Hal-hal kecil jadi terasa besar. Perbedaan jadi terasa lebih mencolok. Dan di tengah semuanya, kami harus mengakui: bahkan dua orang yang saling sayang bisa saling salah tangkap kalau nggak ada ruang buat saling paham.
Pelan-pelan, semuanya mulai membaik. Konseling membantu kami melihat hal-hal yang sebelumnya kami anggap sepele. Kami belajar untuk gak langsung reaktif. Belajar nanya dulu sebelum menyimpulkan. Dan yang paling penting, kami belajar buat berhenti saling menyelamatkan, dan mulai saling menemani. Rasanya masih jauh dari ideal, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kami merasa lagi ada di tim yang sama.
Catatan dari Tengah-Tengah
Jadi di titik ini, aku gak punya progres untuk dipamerkan. Gak ada angka turun di timbangan. Gak ada hasil positif dari lab. Gak ada before-after yang bisa dijadikan konten motivasi. Yang aku punya cuma ini: keberanian buat jujur. Bahwa aku masih belum sampai. Bahwa aku masih struggling. Bahwa aku masih belum jadi versi “sehat dan siap” dari diri sendiri.
Tapi aku juga belajar bahwa gak semua cerita harus tentang kemenangan. Kadang, bertahan pun udah cukup. Hari ini, aku gak mau janji muluk-muluk lagi. Gak ke suami. Gak ke tubuhku. Gak ke dunia. Karena aku udah cukup sering nyakitin diri sendiri dengan janji yang gak bisa aku tepati. Aku mau mulai dari hal kecil: bangun pagi. Minum air putih. Jalan Kaki tiap habis pulang kantor. Nulis ini.
Dan kalau besok aku gagal lagi? Gak apa-apa. Selama aku masih bisa bangun lusa dan coba ulang lagi, aku tahu aku belum kalah. Karena ternyata, resilience itu bukan tentang bangkit dengan spektakuler. Tapi tentang refuse to stay down—meskipun udah jatuh berkali-kali.
Dari dua garis yang tak kunjung datang, ke dua kali Lebaran yang datang terlalu cepat—aku masih di sini. Masih stuck. Tapi juga... masih ada. Masih bertanya. Masih belajar. Masih mau waras.
0 comments